Kesalahan Memilih Vendor Aplikasi – Pernah nggak sih, Anda di posisi harus milih vendor buat aplikasi bisnis? Jujur, itu bikin deg-degan. Rasanya mirip milih jodoh, serius. Kalau salah pilih? Wah, urusannya bisa panjang, bikin pusing tujuh keliling, dan yang pasti… buang-buang duit.
Bagi banyak pengusaha di Indonesia, apalagi di level UMKM atau startup yang baru merintis, aplikasi itu investasi besar. Ini bukan kayak beli barang jadi di toko. Ini membangun sesuatu dari nol, yang kita harapkan bisa jadi mesin uang, atau minimal bikin kerjaan jadi lebih gampang.
Nah, memilih vendor aplikasi yang salah bisa menjadi salah satu “dosa” terbesar yang membuat bisnis Anda benar-benar stuck. Banyak orang tidak menyadari hal ini, karena di awal semuanya terlihat mulus. Namun, ketika perjalanan bisnis mulai berjalan lebih jauh, barulah masalah-masalah itu muncul ke permukaan.
Artikel ini adalah rangkuman dari banyak “curhatan” dan pengalaman di lapangan. Kita akan bedah 3 kesalahan paling fatal yang sering banget kejadian, dan tentu saja, gimana cara menghindarinya.
Daftar isi
- Kesalahan Fatal #1: Terjebak Harga Murah & Portofolio ‘Mentereng’
 - Kesalahan Fatal #2: Kontrak ‘Abu-Abu’ dan Komunikasi Buntu
 - Kesalahan Fatal #3: Mengabaikan Biaya ‘Perawatan’ (Anggap Aplikasi Sekali Jadi Selesai)
 - Bonus: Checklist Memilih Vendor IT (Versi ‘Nggak Basa-Basi’)
 - Pilih Mana: Agensi Besar, Software House Kecil, atau Freelancer?
 - Kesimpulan: Jangan ‘Beli Kucing dalam Karung’
 - FAQ (Pertanyaan Seputar Kesalahan Memilih Vendor Aplikasi)
 
Kesalahan Fatal #1: Terjebak Harga Murah & Portofolio ‘Mentereng’
Ini classic banget. Kita gampang terbuai portofolio mentereng. Kelihatannya “wah”, kliennya gede-gede. Terus, deal breaker-nya: harga murah.
Siapa sih yang nggak tergiur ‘diskon’ di awal? Apalagi kalau bujet lagi mepet.
Tapi, ini seringnya jebakan, lho.

Banyak pengusaha—mungkin termasuk Anda—sering terjebak pada pola pikir ini. Alih-alih memahami prosesnya, kita justru terlalu sibuk menatap “hasil jadi” yang terpampang di portofolio. Padahal, jika kita mau meluangkan waktu untuk menggali lebih dalam, kita bisa menemukan cara kerja mereka di balik layar yang jauh lebih berharga.
Harga murah di awal itu seringkali jadi biaya mahal di akhir. Percaya deh. Entah itu karena bug (error) yang nggak kelar-kelar, fitur yang ternyata nggak sesuai permintaan, atau yang paling horor: proyeknya mangkrak di tengah jalan. Vendornya hilang, nggak bisa dihubungi. Pusing, kan?
Solusi: Lakukan “Due Diligence Vendor IT” Versi Praktis (Nggak Ribet!)
Oke, terus gimana dong? Solusinya adalah due diligence.
Eits, jangan bayangin ini istilah legal yang ribet ala film-film. Due diligence (uji tuntas) versi pengusaha itu gampang banget: Jangan telan bulat-bulat klaim mereka. Validasi!
Membuat portofolio sebenarnya mudah sekali, bahkan banyak orang sengaja melebih-lebihkannya. Namun, daripada terjebak pada tampilan semu itu, Anda bisa fokus pada tiga langkah sederhana berikut yang justru sering diremehkan orang.
- Cek Klien Mereka (Yang Beneran): Jangan cuma baca testimoni di website vendor. Itu pasti yang bagus-bagus aja. Minta 2-3 kontak klien mereka sebelumnya. Kalau bisa, yang proyeknya mirip-mirip kebutuhan Anda. Terus? Telepon atau WA klien itu. Tanyakan langsung: “Gimana Pak/Bu, pengalaman kerja samanya? Vendornya responsif? Ada biaya-biaya siluman nggak?”
 - Uji Pengetahuan Teknis Mereka (Ajak Ngobrol): Saat meeting, jangan cuma ngobrol sama sales atau account manager-nya. Minta ngobrol sama tim teknisnya, programmer atau project manager-nya. Tanyakan hal simpel: “Nanti teknologinya pakai apa? Kenapa pilih itu? Kalau di tengah jalan saya mau tambah fitur, prosesnya gimana?” Anda nggak perlu jadi ahli IT. Tapi dari cara mereka menjawab, Anda bisa feeling kok, mereka beneran paham atau cuma “asal bapak senang”.
 - Pastikan Legalitasnya Jelas: Di Indonesia, hal ini jadi sangat penting. Karena itu, pastikan Anda tahu apakah mereka berbentuk PT, CV, atau hanya perorangan. Jangan ragu untuk meminta NPWP Perusahaan atau NIB (Nomor Induk Berusaha). Dengan langkah sederhana ini, Anda bisa lebih aman dan terhindar dari risiko bertransaksi dengan “vendor gaib” yang sewaktu-waktu bisa menghilang tanpa jejak.
 
Gali Prosesnya, Bukan Cuma Hasilnya
Portofolio itu hasil akhir. Yang sebenarnya Anda “beli” itu proses mereka. Coba tanyakan ini:
- Metode Kerja: “Kalian pakai metode Agile atau Waterfall?” Sederhananya, Agile itu fleksibel, Anda bisa lihat progresnya tiap 1-2 minggu. Waterfall itu kaku, semua baru kelihatan di akhir. Kalau aplikasi Anda mungkin banyak perubahan, Agile biasanya lebih aman.
 - Komunikasi: “Nanti saya kontaknya ke siapa? Seberapa sering saya dapat update? Lewat apa?” Pastikan ada satu pintu (1 Project Manager), jangan dilempar-lempar.
 
Kesalahan Fatal #2: Kontrak ‘Abu-Abu’ dan Komunikasi Buntu
Nah, ini nyambung dari kesalahan dalam memilih vendor aplikasi yang pertama. Gara-gara sudah kadung percaya di awal (karena harga murah atau portofolio tadi), kita jadi nyepelein dokumen paling sakral: Kontrak Kerja (atau SLA – Service Level Agreement).
Yang sering terjadi di lapangan tuh gini: kesepakatan cuma via WhatsApp. Spesifikasi fitur nggak tertulis rinci. Cuma obrolan, “Pokoknya saya mau aplikasi kayak Gojek, tapi versi simpel.”
Bahaya, Pak/Bu.

Waktu proyek berjalan, mulailah “perang” interpretasi:
- Anda: “Lho, kok fitur notifikasinya nggak real-time?”
 - Vendor: “Di kesepakatan awal kan nggak disebut, Pak. Kalau mau tambah itu, ada biaya lagi ya.”
 
Jebakan! Ini adalah mimpi buruk. Proyek jadi molor, biaya bengkak (scope creep), dan hubungan yang awalnya manis jadi asam. Komunikasi buntu.
Solusi: ‘Brief’ Adalah Raja, Kontrak Adalah Benteng
Jangan pernah, sekali lagi, JANGAN PERNAH mulai proyek tanpa dua hal ini: Brief (dokumen spesifikasi) yang detail dan Kontrak legal yang mengikat.
“Secara pribadi, saya selalu nyaranin klien untuk lebih ‘cerewet’ di awal. Habiskan lebih banyak waktu di fase brief dan kontrak. Serius, mending ‘ribut’ di awal bahas detail, daripada ‘ribut’ di tengah jalan pas tagihan datang.”
Kontrak Anda nggak perlu tebal kayak skripsi. Yang penting, pastikan poin-poin krusial ini ada dan jelas tertulis:
- Ruang Lingkup (Scope of Work) Detail: Tulis semua fitur. Sedetail mungkin. Contoh: “Fitur Login: User bisa login pakai email dan password ATAU pakai akun Google.” Semakin detail, semakin aman.
 - Timeline Realistis: Kapan fitur A selesai? Kapan testing? Kapan launching?
 - Termin Pembayaran: Jangan bayar 100% di muka. Please, jangan. Buat termin berdasarkan progres. Idealnya: 30% DP, 40% saat fitur utama di-testing, 30% sisanya saat go-live dan serah terima.
 
Waspadai 2 Hal Fatal Ini: SLA & Source Code
Dua hal ini sering banget kelewat, padahal fatalnya minta ampun:
- Service Level Agreement (SLA): Ini janji layanan. Kalau aplikasi down jam 10 malam, berapa lama vendor wajib respons? Berapa lama wajib diperbaiki? Dukungannya 24/7 atau jam kerja aja? Harus jelas!
 - Kepemilikan Source Code: Ini ibarat Anda beli mobil, tapi BPKB-nya ditahan sama dealer. Anda nggak bisa jual atau modif mobil itu seenaknya. Sama! Tanyakan: “Siapa yang punya Source Code (kode program) nanti?” Pastikan di kontrak tertulis: “Hak milik Source Code diserahkan 100% ke Klien setelah pelunasan.” Kalau nggak, Anda “disandera”. Mau pindah vendor? Nggak bisa, kodenya ditahan.
 
Kesalahan Fatal #3: Mengabaikan Biaya ‘Perawatan’ (Anggap Aplikasi Sekali Jadi Selesai)
Ini kesalahan pengusaha dalam memilih vendor aplikasi yang mikirnya jangka pendek. “Yang penting aplikasi jadi, launching, selesai.”
Padahal, aplikasi itu mirip seperti bayi. Setelah “lahir” melalui proses launching, ia membutuhkan perawatan terus-menerus. Karena itu, Anda harus melakukan maintenance, menambahkan update keamanan, membayar server secara rutin, dan seiring waktu, menambahkan fitur baru agar tidak ketinggalan zaman.
Banyak yang kaget, setahun setelah aplikasi jadi, eh… datang tagihan baru dari vendor. Biaya maintenance bulanan, biaya server tahunan, biaya perpanjangan lisensi inilah-itulah.

Atau lebih parah: bisnis Anda makin gede, user-nya nambah, Anda minta fitur baru. Vendornya bilang, “Maaf Pak, teknologinya udah mentok, nggak bisa di-upgrade.”
Lho, kok bisa? Ya bisa, karena dari awal Anda cuma fokus ke biaya pembuatan termurah, nggak mikirin Total Cost of Ownership (TCO) alias biaya total kepemilikannya.
Solusi: Cari Partner, Bukan Sekadar “Tukang Jahit”
Ubah mindset Anda. Anda itu nggak sedang cari “tukang jahit” aplikasi yang sekali pakai terus putus hubungan. Anda sedang cari Partner Teknologi buat jangka panjang.
Waktu proses seleksi, tanyakan hal-hal “masa depan” ini:
- “Gimana skema maintenance kalian setelah aplikasi jadi? Bulanan? Tahunan? Apa aja yang dicover (misal: bug fixing, update security)? Biayanya berapa?”
 - “Teknologi yang dipakai apa? Ini scalable (bisa dikembangkan) nggak? Kalau user saya tiba-tiba jadi 100 kali lipat, sistemnya kuat?”
 - “Kalau suatu saat saya ingin pindah server atau memutuskan untuk mengelola semuanya lewat tim internal, apakah proses serah terimanya akan berjalan mudah?” Pertanyaan ini kembali menegaskan pentingnya kepemilikan source code sejak awal.
 
Menimbang Resiko Vendor Besar vs. Software House Kecil
Di sinilah Anda perlu menimbang. Ada resiko vendor besar tapi juga ada resiko vendor kecil.
- Vendor Besar/Agensi: Mungkin biayanya lebih mahal, birokrasinya lebih kaku. Tapi, mereka biasanya punya sistem SLA yang jelas, timnya lengkap (nggak tergantung 1-2 orang), dan secara legal mereka nggak akan “hilang” besok pagi. Resikonya lebih terkelola.
 - Software House Kecil/Freelancer: Jelas lebih murah, komunikasinya bisa lebih lincah kayak teman sendiri. Tapi, resikonya lebih tinggi. Gimana kalau programmer andalannya resign? Gimana jaminan mereka masih ada 5 tahun lagi?
 
Nggak ada yang 100% benar atau salah. Sesuaikan dengan skala proyek dan seberapa besar “nyali” Anda ambil resiko.
Bonus: Checklist Memilih Vendor IT (Versi ‘Nggak Basa-Basi’)
Biar gampang menghindari kesalahan dalam memilih vendor aplikasi, saya buatkan checklist memilih vendor IT praktis. Ini adalah tips memilih pengembang yang nggak cuma lihat portofolio. Simpan ini buat contekan.
Checklist Kriteria Vendor Aplikasi (Tanyakan Ini!)
| Kategori | Poin Pemeriksaan | Catatan / Pertanyaan Wajib | 
| 1. Legal & Reputasi | Legalitas Perusahaan | Minta NIB/NPWP. Apakah mereka PT atau CV? (Penting untuk kontrak legal). | 
| Reputasi Klien | Hubungi min. 2 klien lama mereka. Tanyakan soal timeline dan budget, apakah molor? | |
| Reputasi Tim | Cek profil LinkedIn tim inti mereka. Apakah mereka in-house atau freelancer lepas? | |
| 2. Teknis & Proses | Transparansi Proses | Tanyakan: “Tools apa yang Anda pakai untuk project management? (Misal: Trello, Jira, Asana)”. | 
| Kontrol Kualitas (QA) | “Bagaimana Anda melakukan testing? Apakah ada tim Quality Assurance khusus?” | |
| Skalabilitas Teknologi | “Jika user saya jadi 1 juta, apakah arsitektur yang Anda usulkan masih kuat?” | |
| 3. Komersial & Kontrak | Struktur Biaya | Minta rincian biaya. Apakah ada biaya bulanan/tahunan setelah proyek selesai? | 
| Kepemilikan Source Code | Wajib tanya: “Apakah source code jadi milik saya 100% setelah lunas?” | |
| Garansi & SLA | “Berapa lama masa garansi bug fixing gratis setelah launching?” | |
| Termin Pembayaran | Pastikan termin pembayaran berbasis progres (misal: 30%-40%-30%), bukan lunas di muka. | 
Pilih Mana: Agensi Besar, Software House Kecil, atau Freelancer?
Ini dilema klasik pengusaha. Biar nggak bingung, ini perbandingan singkat kelebihan dan resiko vendor besar dibanding yang lain.
| Tipe Vendor | Kelebihan | Kekurangan (Resiko) | Paling Cocok Untuk | 
| Agensi/Vendor Besar | Tim lengkap (UI/UX, Dev, QA, PM), SLA jelas, legalitas kuat, stabil untuk jangka panjang. | Biaya tinggi, birokrasi, proses bisa lebih lambat, kurang fleksibel. | Proyek enterprise, aplikasi core business yang kompleks, BUMN, korporasi yang butuh stabilitas jangka panjang. | 
| Software House (Kecil-Menengah) | Harga kompetitif, lebih lincah/fleksibel, komunikasi biasanya lebih cair. Sweet spot antara harga dan kualitas. | Tim inti mungkin terbatas, resiko turnover tim lebih tinggi, sistem SLA mungkin tidak seketat agensi besar. | Startup (MVP atau scaling), UMKM yang butuh custom software, proyek skala menengah dengan bujet terkendali. | 
| Freelancer | Biaya paling murah, komunikasi sangat langsung, sangat fleksibel. | Resiko tinggi: bisa “hilang”, manajemen proyek berantakan, tidak ada jaminan kualitas (QA), sulit untuk maintenance jangka panjang. | Proyek sangat kecil, prototipe awal sekali, perbaikan fitur minor, atau tugas spesifik (misal: desain 1 halaman). | 
Kesimpulan: Jangan ‘Beli Kucing dalam Karung’
Memilih vendor aplikasi itu bukan kayak beli barang. Ini keputusan strategis yang dampaknya bisa tahunan ke bisnis Anda.

Tiga kesalahan fatal tadi—vetting asal-asalan, kontrak ‘abu-abu’, dan nggak mikirin jangka panjang—itu semua adalah efek domino. Berawal dari ketergesa-gesaan dan fokus yang salah di awal.
Ringkasan Cara Menghindarinya Kesalahan Memilih Vendor Aplikasi Yang Sederhana:
- Lakukan “Due Diligence” Praktis: Jangan cuma lihat portofolio. Telepon klien lama mereka. “Kepo-in” tim teknisnya.
 - Perjelas Kontrak: Detailkan semua fitur. Pastikan Source Code jadi milik Anda, dan SLA maintenance-nya jelas.
 - Pikirkan Jangka Panjang: Anggarkan biaya “perawatan” dari awal. Cari partner yang teknologinya bisa “tumbuh” bareng bisnis Anda.
 
Dengan menghindari tiga jebakan ini, Anda nggak cuma hemat biaya. Anda hemat waktu, energi, dan yang paling penting, hemat jatah pusing kepala Anda.
FAQ (Pertanyaan Seputar Kesalahan Memilih Vendor Aplikasi)
Ini beberapa pertanyaan yang sering banget saya dengar di lapangan, dijawab jujur aja ya.
1. Apa bedanya vendor, software house, dan agensi?
- Jujur, di lapangan istilah ini sering overlap. Vendor itu istilah paling umum, “penyedia”. Software House itu biasanya lebih fokus ke ‘dapur’-nya (coding) software/aplikasi. Agensi (Digital Agency) itu bisa lebih luas lagi, kadang plus marketing, branding, dan desain UI/UX, nggak cuma development.
 
2. Portofolio vendor kelihatan bagus banget, itu jaminan?
- Sama sekali bukan. Portofolio itu etalase, gampang dipoles. Yang lebih penting itu proses di baliknya. Apakah timeline-nya molor? Bujetnya bengkak? Kliennya happy atau stres? Makanya, wajib telepon klien lama mereka.
 
3. Apa tanda-tanda bahaya (red flag) pas milih vendor?
- Kalau mereka terlalu gampang bilang “Iya, bisa Pak” ke semua permintaan Anda tanpa banyak tanya (kemungkinan mereka nggak beneran analisis).
 - Harga yang ditawar JAUH lebih murah dari pasaran (waspada kualitas atau scope creep).
 - Nggak punya Project Manager khusus (Anda bakal dilempar-lempar).
 - Ngeles atau muter-muter pas ditanya soal kepemilikan source code.
 - Kontraknya cuma 1 lembar, isinya umum banget.
 
4. Ada vendor nawarin maintenance gratis selamanya, bagus nggak tuh?
- Hati-hati. Nggak ada yang gratis selamanya di bisnis. Ini biasanya trik marketing. Coba tanyakan detail, “gratis selamanya” itu cover apa aja? Biasanya cuma bug fixing minor banget. Kalau Anda minta tambah fitur atau update besar, ya pasti bayar. Saya pribadi lebih suka vendor yang transparan: bayar X Rupiah/tahun tapi jelas apa aja yang didapat.
 
5. Vendor saya di luar kota/luar pulau, aman nggak?
- Zaman sekarang, lokasi harusnya nggak jadi masalah besar, ASALKAN… sistem komunikasi dan project management mereka sudah teruji. Pastikan Anda tahu cara melacak progresnya (misal pakai Trello/Jira) dan ada jadwal meeting online yang rutin (misal: progress call tiap minggu).
 
				
															




