Literasi Digital Negosiasi – Jujur deh, sebagai pengusaha, pernah nggak sih Anda butuh banget aplikasi custom buat bisnis, eh tapi pas lihat penawaran harganya langsung migrain? Rasanya kayak dilempar ke planet lain, penuh istilah aneh dan angka nol yang bikin deg-degan. Satu sisi, Anda sadar aplikasi ini bisa jadi game changer bisnis di era digital ini. Di sisi lain, budget yang mepet ditambah minimnya pemahaman teknis sering membuat kita ciut saat ingin menawar. Nah, kondisi seperti ini sebenarnya cerita klasik yang kerap terjadi, terutama di kalangan teman-teman UMKM dan startup di Indonesia.
Tapi, coba bayangkan kalau Anda punya ‘jimat’ ampuh yang bikin lebih pede pas ngobrol sama vendor IT? Jimat itu namanya literasi digital. Serius, ini bukan sihir. Dengan bekal pemahaman digital yang pas, proses negosiasi harga aplikasi nggak lagi jadi horor, tapi malah jadi kesempatan emas buat dapetin solusi paling pas dengan harga paling masuk akal.
Intinya gini:Punya literasi digital itu ibarat punya peta dan kompas saat masuk hutan belantara IT. Anda jadi tahu apa yang Anda cari (dan beli!), bisa menilai harga itu wajar atau kemahalan, dan akhirnya bisa ‘menang’ dalam negosiasi. Jadi, ini bukan sekadar soal irit duit. Lebih penting lagi, Anda perlu memastikan investasi teknologi benar-benar memberi value nyata dan mendukung pertumbuhan bisnis ke depan.
Daftar isi
- Sebenarnya, Apa Sih Literasi Digital Itu?
 - Kok Bisa Literasi Digital Jadi Kunci Nego Harga Aplikasi?
 - Ngintip Pasaran Harga Bikin Aplikasi di Indonesia
 - Jurus Jitu Nego Harga Aplikasi Pakai Modal Literasi Digital
 - Panduan Praktis: Checklist Lengkap Negosiasi Harga Aplikasi
 - Belajar dari Pengalaman: Beda Hasil Nego Klien Melek Digital vs. Awam
 - Kesimpulan: Zaman Sekarang, Melek Digital Itu Wajib!
 - Tanya Jawab Seputar Literasi Digital dan Nego Harga Aplikasi
 
Sebenarnya, Apa Sih Literasi Digital Itu?
Oke, mari kita samakan persepsi dulu. Banyak orang mengira literasi digital hanya sebatas bisa memakai laptop, browsing internet, atau update status di media sosial. Namun sebenarnya, maknanya jauh lebih dalam dan punya peran penting dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih dari Sekadar Bisa Main Komputer, Lho!
Literasi digital itu kemampuan kita buat nemuin, nilai, pakai, bikin, sampai ngomongin informasi pakai teknologi digital. Agak ribet ya definisinya? Gampangnya gini: Anda nggak cuma bisa pencet-pencet teknologinya, tapi juga bisa mikir kritis soal info yang Anda dapat, dan pintar-pintar memanfaatkannya buat tujuan tertentu – termasuk buat bisnis, tentunya. Jadi, ini kombinasi antara skill tangan sama skill otak.
Kenali 4 Pilar Penting Literasi Digital
Kalau mengacu pada Kerangka Literasi Digital Indonesia, ada empat tiang utama yang perlu kita kokohkan:
1. Etika Digital (Digital Ethics): Sadar, bisa mencontohkan, dan bijak dalam bertata krama di dunia maya. Misalnya, pas cari gambar buat desain aplikasi, kita paham soal hak cipta, nggak asal comot. Atau pas diskusi detail proyek sama vendor, kita jaga kerahasiaan data.
2. Budaya Digital (Digital Culture): Karena itu, penting bagi kita untuk memahami nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan dalam konteks digital, lalu memanfaatkan TIK secara positif. Bagi dunia bisnis, langkah ini berarti mengenali selera sekaligus kebiasaan digital konsumen Indonesia ketika merancang fitur aplikasi.
3. Keterampilan Digital (Digital Skills): Nah, ini baru soal bisa pakai hardware, software, sampai sistem operasi digital. Contohnya ya bisa riset online cari info vendor, pakai aplikasi chat buat komunikasi, atau paham bedanya aplikasi web sama aplikasi mobile.
4. Keamanan Digital (Digital Safety): Anda perlu memahami cara melindungi data pribadi sekaligus menjaga keamanan saat beraktivitas online. Hal ini sangat penting ketika membahas fitur keamanan di aplikasi pesanan Anda, terutama jika menyangkut data pelanggan.
Contoh Gampang Literasi Digital di Bisnis Sehari-hari
Biar lebih nempel, ini contohnya dalam urusan negosiasi aplikasi:
* Pilih Vendor Nggak Asal: Anda nggak langsung deal sama vendor pertama yang muncul di iklan. Anda kepo-in dulu portofolionya, cari review (awas review bodong!), bandingin harga di beberapa tempat. Ini butuh skill riset (digital skills) dan kewaspadaan (digital safety).
* Jelasin Maunya Apa: Anda bisa breakdown kebutuhan bisnis jadi daftar fitur aplikasi yang jelas. Mungkin Anda cari contoh aplikasi lain, baca-baca studi kasus. Ini pakai digital skills.
* Nggak Telan Proposal Mentah-mentah: Pas vendor kasih proposal teknis, Anda nggak cuma lihat harga paling bawah. Anda coba pahami istilah kayak hosting, database, API. Kalau nggak ngerti, ya tanya! Ini butuh digital skills plus keberanian bertanya. Anda juga mikirin digital ethics, jangan-jangan vendornya pakai source code nggak halal?
* Ngobrol Efektif: Komunikasi sama vendor lancar via email atau chat, bahasanya sopan, responsif. Ini bagian dari digital ethics dan digital culture.

Kok Bisa Literasi Digital Jadi Kunci Nego Harga Aplikasi?
Simpel saja: knowledge is power, kata orang bijak. Pas Anda ngerti dasar-dasar mainnya dunia digital dan proses bikin aplikasi, Anda nggak lagi jadi ‘anak bawang’ di meja negosiasi. Anda bisa jadi lawan diskusi yang sepadan buat vendor IT.
Ngobrol Sama Vendor IT Jadi Lebih Nyambung
Dunia IT memang punya ‘kamus’ sendiri. Istilah seperti agile, UI/UX, backend, frontend, cloud, native, dan hybrid sering bikin kening berkerut kalau kita masih awam. Karena itu, pengusaha yang melek digital sebaiknya minimal familiar dengan konsep-konsep ini. Mereka memang tidak harus bisa coding, tapi penting untuk tahu gambaran besarnya.
Pengaruhnya apa? Diskusi teknis jadi lebih lancar. Anda bisa nanya hal yang relevan, nggak gampang ‘dikibulin’ pakai jargon biar kelihatan mahal. Anda jadi paham, oh pantes aplikasi native lebih mahal dari hybrid, atau apa bedanya pakai database A sama B.
Bisa Nakar Kualitas & Kerumitan Proyek Lebih Realistis
Literasi digital membantu Anda ‘meraba’ seberapa rumit proyek aplikasi yang ingin dibuat. Dengan bekal ini, lebih mudah membedakan mana fitur yang tergolong sederhana dan mana yang butuh effort besar. Misalnya, menambahkan fitur lacak lokasi real-time atau sambungan ke payment gateway jelas lebih kompleks dibanding sekadar membuat halaman ‘Tentang Kami’.
Lalu, hasilnya bagaimana? Bekal literasi digital membuat Anda bisa menilai apakah harga yang ditawarkan vendor sepadan dengan tingkat kesulitan pekerjaannya. Selain itu, Anda jadi lebih waspada: tidak mudah tergiur fitur canggih berharga miring yang ternyata mengorbankan kualitas, dan tidak pula membayar terlalu mahal untuk fitur standar. Bahkan, Anda bisa langsung bertanya, ‘Fitur X ini pakai teknologi apa ya? Kira-kira berapa lama bikinnya?’ Pertanyaan semacam ini menunjukkan kepedulian Anda terhadap proses.
Posisi Tawar Jadi Kuat, Lebih Pede!
Kalau Anda paham apa yang diobrolin, otomatis lebih pede kan? Vendor IT juga lebih respect sama klien yang ‘nyambung’ diajak ngomongin teknis (meski dasarnya aja) dan punya harapan yang masuk akal. Mereka tahu Anda nggak bisa ‘dikerjain’ gitu aja.
Untungnya buat Anda? Posisi tawar Anda jadi lebih kuat. Anda bisa nego fitur mana yang duluan, mana yang bisa nanti (kalau budget pas-pasan). Bisa diskusi soal pilihan teknologi yang mungkin lebih hemat. Bahkan bisa bandingin penawaran vendor A dan B secara apple-to-apple, karena Anda tahu komponen biayanya. Percaya deh, vendor mikir dua kali sebelum ngasih harga ‘ngasal’ ke klien yang paham digital.
Ngintip Pasaran Harga Bikin Aplikasi di Indonesia
Nah, sampai juga ke pertanyaan favorit: “Sebenarnya, berapa sih ongkos bikin aplikasi di sini?” Jawabannya, hmm… nggak segampang itu ya. Mirip kayak nanya “Harga mobil berapa?”, pasti dijawab “Ya tergantung mobilnya apa dulu…”.
Apa Saja yang Bikin Harga Aplikasi Beda-beda?
Biaya bikin aplikasi itu ibarat puzzle, banyak kepingannya. Ini beberapa faktor utama yang bikin harganya bisa beda jauh:
1. Fiturnya Serumit Apa: Makin banyak fitur, makin canggih (misal: pakai AI, lacak real-time, analitik mendalam), ya makin mahal. Bikin aplikasi kasir simpel pasti beda sama bikin marketplace lengkap.
2. Mau Tampil di Mana (Platform): Aplikasi Android saja? iOS saja? Atau dua-duanya? Mau ada versi Web juga? Beda platform, beda skill developer, beda waktu pengerjaan. Bikin buat banyak platform biasanya lebih mahal.
3. Tampilan (Desain UI/UX): Mau desain yang custom banget, unik, dan super nyaman dipakai? Itu butuh riset dan proses desain lebih panjang (dan mahal). Pakai template lebih murah, tapi ya gitu deh, kurang bebas.
4. Nyambung ke Sistem Lain: Perlu disambungin ke sistem pembayaran online? Sistem logistik? CRM? Setiap sambungan baru nambah kerumitan dan biaya.
5. Keamanannya Gimana: Kalau aplikasinya buat transaksi uang atau simpan data penting (kayak data KTP atau rekam medis), wajib hukumnya pakai keamanan berlapis. Nah, ini nambah biaya lagi.
6. Siap Nampung Berapa Pengguna: Aplikasi buat internal kantor kecil beda arsitekturnya sama aplikasi yang siap dipakai jutaan orang. Yang kedua butuh ‘mesin’ (backend) lebih kuat dan pastinya lebih mahal.
7. Siapa yang Ngerjain: Pengalaman tim developernya ngaruh banget ke harga. Freelancer, software house kecil, software house besar, developer junior, developer senior, beda-beda tarifnya. Lokasi juga bisa ngaruh, tarif Jakarta sama Yogyakarta pasti beda.
8. Habis Jadi, Terus Gimana?: Biaya penawaran udah termasuk maintenance (perawatan), update, atau perbaikan bug buat beberapa waktu ke depan belum? Ini penting buat jangka panjang.
Kira-kira, Berapa Sih Biaya Bikin Aplikasi? (Estimasi Aja Ya)
Kasih angka pasti memang susah, tapi buat gambaran kasar aja ya (ingat, ini kasar banget dan bisa meleset jauh):
* Aplikasi Simpel (MVP – Minimum Viable Product): Mungkin start dari Rp 20 jutaan sampai Rp 80 jutaan. Contoh: Aplikasi katalog biasa, aplikasi booking internal kantor.
* Aplikasi Menengah: Kisaran Rp 80 jutaan sampai Rp 300 jutaan. Contoh: Toko online standar, aplikasi medsos fitur dasar.
* Aplikasi Kompleks: Bisa mulai dari Rp 300 jutaan sampai miliaran. Contoh: Aplikasi mobile banking, marketplace gede kayak Tokopedia, aplikasi pakai AI/IoT.
Ingat ya: Jangan telan mentah-mentah angka ini. Cara paling bener ya bikin brief yang detail, terus minta penawaran resmi dari beberapa vendor.
Pilih Freelancer atau Software House? Bingung?
Situasi seperti ini memang sering bikin galau. Pada akhirnya, setiap pilihan punya plus minusnya masing-masing:
- Freelancer
- Kelebihan: Biayanya biasanya lebih murah, komunikasi bisa langsung dengan orangnya, dan kadang lebih fleksibel soal waktu.
 - Kekurangan: Ada risiko hilang kontak (misalnya sakit atau sibuk dengan proyek lain), bisa kewalahan kalau proyeknya besar, kadang kurang terstruktur, dan kualitasnya cenderung untung-untungan.
 - Cocok untuk: Proyek kecil, pembuatan versi awal (MVP), penambahan fitur minor, atau ketika budget sangat terbatas.
 
 - Software House
- Kelebihan: Tim lebih banyak dan kerjanya lebih rapi, ada manajer proyek, kualitas serta garansi biasanya lebih jelas, dan sanggup mengerjakan proyek rumit.
 - Kekurangan: Umumnya lebih mahal, komunikasi teknis sering lewat perantara (manajer proyek), dan fleksibilitas bisa lebih rendah dibanding freelancer.
 - Cocok untuk: Proyek menengah hingga besar, aplikasi yang krusial bagi bisnis, serta kebutuhan support berkelanjutan.
 
 
Tips: Nah, literasi digital di sini gunanya buat bantu Anda nilai portofolio dan cara kerja mereka. Jadi bisa pilih mana yang risikonya paling bisa Anda tolerir sesuai kebutuhan.
Jurus Jitu Nego Harga Aplikasi Pakai Modal Literasi Digital
Oke, saatnya pakai ‘jimat’ literasi digital buat skill negosiasi aplikasi Anda. Ini beberapa jurus yang bisa dicoba:
Jangan Malas Riset! Ini Langkah Awal Krusial
Sebelum ngontak vendor manapun, kerjain dulu PR Anda:
* Intip Harga Pasaran: Coba cari info kisaran harga buat aplikasi sejenis (hati-hati info online kadang nggak akurat). Tanya-tanya di forum developer atau grup startup bisa bantu.
* Selidiki Vendor: Jangan cuma lihat web kerennya. Cek reputasi, baca testimoni klien (kalau ada, cari yang jujur), lihat proyek-proyek mereka sebelumnya. Pernah garap proyek mirip punya Anda nggak? LinkedIn bisa jadi alat bantu.
* Pahami Teknologinya Dikit: Ngerti dikit soal teknologi yang biasa dipakai. Ada nggak pilihan open-source yang bisa lebih hemat? Apa tren baru yang oke?
Hasil riset ini jadi ‘contekan’ Anda biar nggak datang kosongan pas nego.
Bikin Brief Proyek yang Jelas Biar Nggak Salah Paham
Ini wajib banget! Makin jelas Anda jabarin maunya apa, makin akurat vendor ngasih harga, makin kecil kemungkinan drama ‘salah paham’ di belakang. Brief yang bagus minimal isinya:
- Fitur-fiturnya apa aja? (Pilah: mana yang *wajib ada*, mana yang *kalau bisa ada*)
 
- Ada contoh aplikasi sejenis?
 
- Mau jalan di platform apa? (Android/iOS/Web)
 
- Pengen tampilannya kayak gimana?
 
- Kira-kira budget berapa? (Ini opsional, tapi bisa bantu vendor kasih solusi realistis)
 
- Target waktu selesainya kapan?
 
Brief detail nunjukin Anda serius dan udah mikirin matang-matang. Ini aja udah bikin posisi tawar Anda naik.
Berani Tanya Detail Teknis? Tunjukin Kalau Anda Paham!
Pas ngobrol sama vendor, jangan cuma “iya-iya” aja. Coba tanya:
* “Teknologi/Framework-nya pakai apa ya? Kenapa pilih itu?” (Biar tahu efisien dan tahan lama nggak teknologinya)
* “Gimana arsitektur backend-nya? Siap nggak kalau nanti penggunanya banyak?” (Penting buat antisipasi pertumbuhan)
* “Proses testing-nya gimana nanti?” (Ngecek kualitas)
* “Timnya siapa aja yang ngerjain? Pengalamannya gimana?” (Nakar kemampuan tim)
* “Nanti kalau udah jadi, update sama maintenance-nya gimana?” (Penting buat jangka panjang)
Nggak harus ngerti 100% jawabannya. Tapi pertanyaan gini nunjukin Anda peduli kualitas teknis, nggak cuma ngejar murah.
Soal Bayar & Fitur, Coba Tawarkan Opsi Biar Fleksibel
Kalau penawaran awal bikin sesak napas, jangan langsung kabur. Coba diskusikan beberapa hal berikut:
* Bayar Bertahap (Milestones): Bayar sesuai progres. Lebih aman buat Anda, fair buat vendor.
* Bikin Bertahap (Phased Development): Rilis versi dasar dulu (MVP), fitur tambahan nyusul di fase berikutnya. Biaya jadi lebih ringan di awal.
* Nego Fitur: Mungkin ada fitur nice-to-have yang bisa ditunda atau diganti solusi lebih simpel biar harga awal lebih bersahabat?
Ingat, Fokus ke Nilai Jangka Panjang, Bukan Cuma Harga Murah
Aplikasi murah belum tentu benar-benar irit di akhir. Sebab, kalau Anda membuatnya asal, risikonya muncul banyak bug, sulit dikembangkan, atau bahkan rawan dibobol. Akibatnya, biaya perbaikan justru bisa jauh lebih mahal. Itulah mengapa pengusaha yang melek digital paham bahwa aplikasi sebenarnya merupakan investasi.
Fokus negonya harusnya gimana caranya dapetin value terbaik: aplikasi bagus, sesuai kebutuhan, ada support oke, bisa dikembangin lagi, dengan harga yang masuk akal. Kadang, bayar sedikit lebih mahal buat vendor yang reputasinya bagus itu lebih menenangkan hati.
Panduan Praktis: Checklist Lengkap Negosiasi Harga Aplikasi
Biar nggak ada yang kelewat, pakai checklist ini pas proses nego harga aplikasi:
Persiapan Matang Sebelum Mulai Nego
- [ ] Udah jelas tujuan & kebutuhan bisnisnya?
 
- [ ] Brief proyeknya udah detail dan rapi?
 
- [ ] Udah riset kisaran harga pasar?
 
- [ ] Udah pilih beberapa calon vendor (minimal 3)?
 
- [ ] Udah cek reputasi, portofolio, testimoni vendor?
 
- [ ] Udah paham dikit-dikit soal teknologinya?
 
- [ ] Udah ada bayangan budget realistis?
 
- [ ] Udah siapin daftar pertanyaan detail?
 
Saat Duduk Bareng Vendor (Proses Negosiasi)
- [ ] Jelasin brief proyek dengan baik.
 
- [ ] Dengerin solusi dan cara kerja yang ditawarin vendor.
 
- [ ] Tanyain semua pertanyaan yang udah disiapin.
 
- [ ] Minta penjelasan detail tiap komponen biaya (breakdown).
 
- [ ] Tanya soal proses kerja, timeline, dan siapa aja timnya.
 
- [ ] Singgung soal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) – siapa pemilik source code-nya nanti.
 
- [ ] Tawar harga berdasarkan riset dan value (jangan cuma minta murah tanpa alasan!).
 
- [ ] Tanya soal garansi, perawatan (maintenance), dan dukungan (support) setelah proyek selesai.
 
- [ ] Kalau perlu, diskusikan opsi bayar bertahap atau bikin bertahap.
 
- [ ] Minta penawaran final tertulis yang isinya detail semua.
 
Setelah Deal (Jangan Lupakan Ini!)
- [ ] Pastikan semua deal tertulis jelas di kontrak (Surat Perjanjian Kerja/SPK).
 
- [ ] Kalau perlu, minta bantuan ahli hukum buat cek kontraknya
 
- [ ] Jaga komunikasi tetap lancar sama vendor selama proses pembuatan.
 
- [ ] Pantau progresnya secara rutin.
 
Checklist negosiasi harga aplikasi ini bisa jadi pegangan biar lebih tenang dan terarah.
Belajar dari Pengalaman: Beda Hasil Nego Klien Melek Digital vs. Awam
Biar makin mantap, ini dua cerita (rekaan tapi sering kejadian):
Kisah Pak Budi (Awam): Udah Bayar Mahal, Hasilnya Kok Gini?
Pak Budi, punya toko kelontong, mau bikin aplikasi jualan online. Kontak vendor pertama, cuma bilang, “Pokoknya jadi, Mas.” Gampang percaya sama presentasi vendor yang pakai bahasa ‘tingkat dewa’. Ditawari paket ‘komplit’ Rp 100 juta tanpa rincian, Pak Budi iyakan saja, merasa ‘nggak enak’ nawar.
Hasilnya? Aplikasi jadi sih, tapi sering error (bug), tampilan biasa aja, susah di-update. Pas minta dibenerin, eh malah ditagih biaya lagi. Pak Budi kecewa berat. Budget ludes, aplikasi nggak maksimal. Beliau nggak sadar, mungkin dengan spek sama bisa dapat harga lebih murah atau kualitas lebih oke kalau lebih kritis dari awal.
Kisah Ibu Rina (Melek Digital): Harga Oke, Aplikasi Sesuai Mimpi
Ibu Rina, pengusaha katering, juga perlu aplikasi pesanan. Beliau riset dulu, bikin brief detail fitur prioritas (menu, jadwal, bayar online, notif WA), terus hubungi 3 vendor (1 gede, 1 kecil, 1 tim freelance). Pas ngobrol, Ibu Rina tanya detail soal teknologi, cara testing, dan lihatin portofolio mereka.
Pas nego, Ibu Rina fokus ke fitur yang wajib ada dulu. Bandingin penawaran ketiganya secara logis. Akhirnya pilih software house kecil yang kasih harga Rp 60 juta, teknologinya lumayan baru, plus ada support 6 bulan. Prosesnya lancar karena komunikasinya enak. Aplikasi jadi sesuai harapan, stabil, pesanan katering jadi nambah. Ibu Rina puas, investasinya nggak sia-sia.
Lihat kan bedanya? Literasi digital bisa jadi penentu antara ‘rugi bandar’ sama ‘untung besar’ pas investasi teknologi.

Kesimpulan: Zaman Sekarang, Melek Digital Itu Wajib!
Bisnis di era digital ini makin butuh aplikasi custom biar makin gesit. Tapi ya itu tadi, proses bikinnya, apalagi pas nego harga, bisa jadi ‘jebakan batman’ kalau kita modal nekat doang. Literasi digital itulah ‘peta’ dan ‘pelindung’ kita.
Dengan jadi pengusaha yang paham digital, Anda nggak cuma bisa dapat harga aplikasi yang lebih masuk akal. Lebih penting lagi, Anda bisa pastiin solusi teknologi yang Anda bayar itu beneran berkualitas, pas sama kebutuhan, dan siap dukung bisnis Anda tumbuh ke depan. Jadi, literasi digital negosiasi itu bukan lagi sekadar skill tambahan, tapi udah jadi skill wajib buat semua pengusaha Indonesia yang mau sukses online. Jangan sampai kayak Pak Budi ya, yuk mulai belajar dari sekarang!
Merasa butuh teman diskusi buat rencana aplikasi Anda atau bingung pas nego harga? Tim Nusait.com siap bantu ngobrol. [Yuk, Kontak Kami Buat Konsultasi Gratis!]
Tanya Jawab Seputar Literasi Digital dan Nego Harga Aplikasi
1. Saya gaptek total nih, apa masih mungkin belajar literasi digital buat nego?
Sangat mungkin! Nggak harus jadi jago coding kok. Mulailah dari hal kecil dulu. Sebagai langkah awal, coba lakukan riset online lewat Google, baca artikel teknologi yang simpel—banyak kok tersedia di blog IT—dan jangan ragu bertanya pada teman yang lebih paham. Intinya, teruslah belajar dan jangan malu mencari jawaban. Pada akhirnya, fokuskan energi Anda hanya pada hal-hal yang relevan untuk bisnis.
2. Buat proyek pertama, mending pilih freelancer atau software house ya?
Tergantung banget sama proyeknya, budget Anda, dan seberapa besar risiko yang berani Anda ambil. Freelancer biasanya lebih irit tapi risikonya (misal: orangnya hilang) lebih tinggi. Software house lebih mahal tapi biasanya lebih terjamin proses dan hasilnya. Kalau proyeknya penting banget buat bisnis dan budget ada, software house mungkin lebih aman. Kalau cuma coba-coba atau fitur simpel, freelancer oke juga.
3. Tanda-tanda vendor IT yang ‘mencurigakan’ itu apa aja sih?
Waspada kalau vendor: ngasih janji surga harga nggak masuk akal, portofolionya nggak jelas atau nggak relevan, susah dihubungi/balasnya lama banget, nggak mau transparan soal cara kerja, atau nolak ngasih rincian biaya detail. Feeling biasanya nggak bohong kok.
4. Pas deal bikin aplikasi, harus bayar lunas semua di depan nggak?
Jangan pernah! Itu berisiko banget buat Anda. Selalu negosiasikan bayar bertahap sesuai progres kerja (milestone). Misalnya DP sekian persen, bayar lagi pas fitur A jadi, bayar lagi pas testing selesai, pelunasan pas serah terima. Ini paling aman dan fair buat kedua pihak.
				
															




